Penulis: Priscila Stevanni
Penerbit: Penerbit Kosong
Cetakan: I, Oktober 2015
Tebal: 275 hlm.
Sinopsis:
Rasanya seperti mimpi. Tabrakan itu, suara klakson yang memekakkan telinga, van putih yang melaju dengan kecepatan tinggi, aku dan Rega yang hanya dapat berdiri terpaku menantang maut. Lalu… Poof! Semua hilang begitu saja.
Aku terbangun di kamarku. Mereka tidak pernah menemukan tubuh Rega. Mereka bahkan tidak mengingat siapa itu Rega. Semua jejak tentang Rega menghilang. Tidak ada satu pun bukti yang dapat menunjukkan bahwa Rega pernah hidup. “Tidak pernah ada yang namanya Rega Adisatya!” Begitu kata mereka.
Aku berharap dapat segera terbangun dari mimpi buruk ini. Mimpi yang tidak menyertakan Rega di dalamnya. Ingatan fotografisku tidak mungkin berbohong. Rega pernah ada—dan hidup di bumi ini. Aku mengenalnya. Rega bukan fantasi. Ia bukan khayalanku seperti yang orang-orang katakan—dan aku tidak gila. Ia adalah memori, senyata-nyatanya memori.
Dan suatu saat nanti, aku pasti akan menemukannya kembali.
Apa yang ada di benak kalian saat melihat cover novel ini? Bagi saya pribadi, saat memandang covernya pertama kali, saya akan langsung berasumsi bahwa ini adalah novel romance. Pemilihan font yang manis semakin menambah kesan romance-nya. Saat membaca sinopsis di bagian belakang, kita akan disajikan kilasan cerita yang mampu menggelitik rasa penasaran: tentang seorang gadis yang kehilangan sahabatnya yang bernama Rega. Anehnya, Rega seolah tak pernah eksis di dunia. Tak ada satupun yang mengingat bahwa Rega pernah ada di dunia ini, kecuali sang tokoh utama. Benarkah selama ini Rega hanyalah khayalannya semata? Apakah ingatan fotografis sang tokoh utama telah menipunya?
Barulah setelah membaca novel ini secara utuh, kita akan mengetahui bahwa ternyata novel ini tak melulu berkisah tentang romance. Mengejutkannya, karya fiksi bertajuk Memoria ini mengandung unsur science fiction yang cukup kental, mengingatkan saya pada novel-novel young adult karya penulis-penulis luar. Jadi, seseru apa novel ini? Yuk, kita bahas.
Memoria adalah novel bergenre fiksi ilmiah, penuh aksi, dengan sedikit sentuhan romance (well, everybody needs a little romance, right?). Dikisahkan seorang gadis bernama Maira yang kehilangan sang sahabat, Rega, di malam yang sama saat gadis itu berulang tahun kedelapan belas. Sebuah mobil van menabrak mobil milk Rega tepat di depan rumah Maira. Maira terbangun keesokan harinya dan mengira segalanya hanyalah mimpi buruk. Namun kelegaan hati gadis itu tak berlangsung lama. Mimpi buruk ternyata masih berlanjut. Ia tak dapat menghubungi Rega sama sekali. Saat Maira menanyakan keberadaan Rega pada pada orang-orang terdekat mulai dari keluarga hingga sahabat karib, mereka malah mengira Maira mulai kurang waras. Tak ada satu pun di antara mereka yang mengingat Rega. Bahkan bukti keberadaan Rega seluruhnya lenyap. Maira mencoba mendatangi rumah keluarga Rega, hanya untuk mendapati bahwa keluarga tersebut tak pernah punya anak laki-laki bernama Rega, bahkan mereka yakin tak punya anak sama sekali. Mungkinkah gadis yang dianugerahi ingatan fotografis tersebut sesungguhnya hanya mengkhayalkan Rega? Apakah Rega hanyalah imajinasinya semata?
Setelah berbulan-bulan menjalani sesi terapi bersama psikiater (atas desakan keluarga dan sahabat), Maira mulai meragukan dirinya sendiri. Barangkali mereka benar. Mungkin Rega memang hanya hidup dalam imajinasinya saja—hingga suatu ketika, pada hari yang diyakini Maira sebagai hari ulang tahun Rega, seorang pria paruh baya mendatangi gadis itu dan memberikan sebuah benda yang membuktikan bahwa Rega benar-benar nyata. Bahwa memori Maira selama ini memang tak sepantasnya diragukan. Dan itu semuanya hanyalah awal dari petualangan yang sebenarnya. Sebuah petualangan yang melibatkan perjalanan lintas waktu serta rentetan peristiwa yang nyaris merenggut nyawa. Hidup Maira pun menjadi tak sama lagi.
Bagian awal novel ini sangat sesuai dengan judulnya, yaitu tentang Maira yang berkutat dengan memorinya tentang Rega, sang sahabat yang ternyata memiliki tempat khusus di hatinya, yang sayangnya baru ia sadari setelah orangnya menghilang dari muka bumi. Memasuki bagian pertengahan novel, unsur fiksi ilmiah semakin terasa, yaitu ketika Maira dibawa ke masa depan, persisnya Jakarta di tahun 2097. Maira kemudian mendapati fakta yang sungguh mengejutkan, bahwa ingatan fotografisnya ternyata memegang peranan sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Sayangnya ada pihak jahat yang mencoba memanfaatkan kelebihan gadis tersebut.
Ada banyak adegan aksi dalam novel ini (yang tak pernah saya duga sebelumnya, terutama karena desain cover yang sukses menyamarkan genre sesungguhnya dari novel ini). Saya kagum dengan kemampuan penulis yang mampu menghadirkan berbagai adegan aksi yang cukup intens, seolah saya tengah menonton film young adult ala The Maze Runner. Gaya bercerita penulis yang luwes ditambah dialog-dialog yang segar membuat saya betah menikmati lembar demi lembar novel ini.
Secara keseluruhan, plot dalam Memoria telah dirancang dengan cukup baik oleh penulis. Meski demikian, saya pribadi merasa banyak hal yang sesungguhnya bisa dieksplorasi lebih luas lagi. Penambahan detail dalam cerita saya kira akan membuat novel ini lebih menarik lagi. Misalnya (awas, mungkin ini mengandung spoiler): saya sangat butuh penjelasan mengenai proses penghapusan memori yang dilakukan terhadap orang-orang di masa lalu, termasuk menghapus bukti keberadaan Rega. Melakukannya dalam semalam saya yakin butuh kemampuan teknis serta teknologi yang benar-benar canggih. Selain itu, ada beberapa adegan di mana Maira dkk berhasil meloloskan diri dari musuh yang menurut saya entah mengapa terasa dipermudah oleh penulis.
Bicara soal romance, tentu saja ada adegan yang sukses membuat saya ber-aww se sweeet-ria. Hehe. Tapi saya tak akan membahasnya di sini, takut semakin menambah spoiler. Untuk tahu lebih lanjut, baca sendiri novelnya ya.
Tokoh favorit saya di novel ini adalah Toya. Meskipun tokoh Toya agak terlalu sempurna, namun kepribadian yang ditanamkan oleh penulis pada tokoh ini membuat saya gampang untuk menyukainya. Sayangnya saya masih bisa merasakan kalau tokoh ini hanya jadi semacam pelengkap semata (dan mungkin memang dimaksudkan demikian oleh penulis). Kalau ditanya soal adegan favorit, adegan favorit saya adalah semua adegan aksi dalam novel ini, terutama adegan saat Maira dan kawan-kawan terperangkap dalam ruangan yang mulai dipenuhi oleh air. Maira sungguh keren di sini! >.<b
Ending novel ini cukup membuat penasaran. Saya benar-benar berharap kalau novel ini akan ada lanjutannya.
Bagi saya, Memoria cukup sukses dalam menambah khazanah genre fiksi ilmiah lokal di tengah-tengah genre romance dan horror yang membanjiri toko-toko buku. Apalagi novel ini memiliki pesan yang cukup bagus tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan (makin penasaran sama novelnya kan? Hehe). Sebagai karya anak bangsa, saya sangat mengapresiasi novel ini, terutama karena keberanian penulis dalam mengusung genre fiksi ilmiah. Bagi kalian yang mungkin butuh rehat sejenak dari bacaan bergenre romance dan horror lokal, novel Memoria karya Priscila Stevanni ini bisa banget dijadikan pilihan. :)
Tumben ada novel lokal genre sci-fi. Jadi pengen baca juga, Kang. Cari pinjeman kemana yaaaa? :D
BalasHapusWah, untuk memperkaya bacaan dengan genre sci-fi, harus masuk list ini mah. Kayaknya bagus kalo dilihat dari ratingnya
BalasHapushollister clothing
BalasHapuscoach factory outlet
kate spade handbags
adidas stan smith
fitflops sale clearance
ugg australia boots
birkenstock sandals
coach factory outlet
cheap oakley sunglasses
coach outlet
2017117caiyan
jordan
BalasHapustimberland boots
birkin bag
ugg boots
kobe 10
links of london
hogan outlet
polo ralph lauren
red bottoms
wedding dresses
2018.1.16xukaimin
salomon shoes
BalasHapusprada
nike shoes
spain world cup jersey
nike air max 90
dior handbags
nike air
adidas
michael kors outlet
nike clothing
2018.8.16chenlixiang