Penulis: Ruwi Meita
Penerbit: Rakbuku
Cetakan: I, Januari 2016
Tebal: 236 hlm.
"Pernahkah pelangi menangis karena hujan dan langit tak mau mewarnainya? Jika sempat, tolong katakan pada hujan untuk menitik satu kali pada tiga puluh tahun kesunyian di ujung pelangi yang tak berbatas. Mungkin saja asa yang tersesat menemukan jalan pulang dan darah tak harus tercurah pada telapak tangan yang beku."
Sebuah liontin menuntun Jeruk pada sebuah nama, Rinai. Sebuah nama yang digunakannya untuk memulai kiprahnya sebagai penulis misteri. Namun, misteri ternyata tidak hanya terjadi di novel fiksi buatan Rinai. Satu per satu korban mulai berjatuhan sesuai dengan kisah di dalamnya. Kini, Jeruk harus berpacu dengan waktu, sebelum lebih banyak lagi korban berjatuhan. Ataukah kali ini, Jeruk sendiri korbannya?
Bagi seorang penulis fiksi yang sudah punya nama besar di genre tertentu, biasanya tak mudah untuk menulis genre yang lain. Bukan karena mereka tak mampu, namun lebih disebabkan karena image yang sudah melekat. Christian Simamora, misalnya. Para pembaca cerita romance Indonesia pasti sudah mengenal si Abang sebagai penulis cerita romantis yang hawt. Namun bagaimana bila beliau tiba-tiba memutuskan ingin menulis cerita dengan genre yang berbeda, misteri misalnya? Saya bisa membayangkan para fans akan terbagi menjadi dua kubu: ada yang mendukung, namun pasti tak sedikit pula yang akan menentang, lengkap dengan argumen masing-masing. (Okey, saya sotoy).