image source here. edited by me. |
Saya adalah tipe pembaca yang gampang terpengaruh. Saat membaca review yang memuji sebuah buku, biasanya saya akan berpikir, "Oke, saya akan baca bukunya." #gakmaukalah. Tapi gara-gara itu, nggak jarang saya mengalami kekecewaan setelah membacanya sendiri buku dimaksud. “Kok nggak sesuai harapan ya?” Di sisi lain, saya juga punya rasa penasaran yang cukup tinggi, yang nggak jarang membuat saya membaca sebuah buku yang mendapat review jelek. Mengapa dianggap jelek? Nggak bagusnya di bagian mana, sih? Dan setelah memutuskan untuk membaca, ternyata bukunya nggak jelek-jelek amat menurut saya. Ada buku-buku yang secara umum mendapat rating pas-pasan di Goodreads, namun saya pribadi memberi rating tinggi untuk buku tersebut.
Ekspektasi, bisa jadi adalah salah satu faktor yang membuat pembaca pada akhirnya memiliki final thought yang berbeda-beda terhadap suatu bacaan. Saya pikir sudah menjadi pendapat umum bahwa miliki ekspektasi yang tinggi malah sering membuat kita kecewa. Sayangnya, nggak gampang mengontrol ekspektasi kita terhadap sesuatu bacaan. Semakin banyak novel yang kita baca, semakin banyak pula referensi plot, tema, character building, serta gaya penulisan yang tertanam dalam pikiran kita. Otomatis, kita berharap novel-novel yang akan dibaca bakalan lebih baik dari novel-novel sebelumnya. Terhadap penulis favorit pun, kita pasti berharap paling nggak ada kejutan baru darinya. Mungkin plot yang lebih menarik, tema yang lebih menantang, atau karakter-karakter yang lebih kuat.
Kenyataannya, penulis favorit juga manusia. Mereka juga mampu membuat kita kecewa. T-T *gesek biola* <-- (credit to my Princess)
Nggak ingin merasa terlalu kecewa dengan buku yang akan dibaca? Cobalah untuk nggak menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi sejak awal. Mungkin tipsnya agak terdengar cemen ya. Dan bisa jadi menurunkan ekspektasi bukan hal yang mudah bagi sebagian orang, terutama bila ia adalah pembaca yang kritis.
Baru-baru ini ada dua buku yang sejak awal saya nggak menaruh harapan yang tinggi terhadapnya. Dua buku tersebut adalah Stolen Songbird dan Take Me to Your Heart. Bagi yang belum tahu, Stolen Songbird adalah novel fantasi yang berkisah tentang petualangan seorang gadis di dunia troll. Faktor yang membuat saya kurang bersemangat sewaktu membaca novel itu: tokoh utamanya jatuh cinta sama troll! Ewww banget kan? Tapi setelah membacanya, ternyata saya sangat menyukai novel itu. Ceritanya nggak sedangkal yang saya kira, serta penuh kejutan menyenangkan.
Sementara Take Me To Your Heart adalah novel karya penulis lokal yang belum pernah saya baca satu pun karyanya sebelumnya. Premis cerita Take Me To Your Heart lumayan menarik, tentang Mak Comblang profesional yang kewalahan menjodohkan salah satu kliennya. Awalnya saya berpikir, “Oke, jadi ini novel tentang biro jodoh ya?” Mungkin bukan cangkir teh saya, tapi okelah, akan saya coba. Yang terjadi kemudian adalah saya memberi bintang 4 untuk buku tersebut, yang artinya “I really like it!”. XD
Mungkin contoh di atas kurang mewakili pendapat saya tentang ekspektasi. Mungkin saya merasa bukunya bagus karena, yah, bukunya memang bagus #mbulet. Namun saya harus mengakui bahwa menetapkan ekspektasi yang nggak terlalu tinggi dapat meminimalisir rasa kecewa saya terhadap suatu bacaan.
Lalu bagaimana dengan film yang diadaptasi dari sebuah novel?
Sebagai pembaca, pernah nggak, kamu merasa kecewa terhadap film-film yang diadaptasi dari novel? Cukup sering? Hehe, saya juga. Dugaan sok tahu saya, secara umum banyak pembaca yang merasa kecewa terhadap film yang diadaptasi dari novel, terutama bila novelnya sudah dibaca terlebih dahulu. Alasannya macam-macam, mulai dari para aktor dan aktris yang nggak sesuai imajinasi, adegan-adegan yang dihilangkan atau diganti, plot cerita yang terasa dipadatkan karena terkendala durasi, dan sebagainya. Memang sih, ada film yang cukup sukses diadaptasi dari sebuah novel, sebut saja trilogi The Lord of The Rings yang terkenal epik itu, atau The Fault in Our Stars yang baik novel maupun adaptasi filmnya sukses memberikan efek yang sama bagi pembaca/penonton. Tapi seberapa banyak sih, film adaptasi novel yang bisa seperti TLOTR atau TFIOS?
Sampai beberapa waktu yang lalu, saya adalah salah satu dari sekian banyak pembaca yang menganut prinsip “baca dulu baru nonton”. Dan yang sering terjadi adalah adalah saya malah sering komplain. “Kok begini? Kok begitu? Si A kok beda dengan deskripsi buku? Tokoh B kok nggak muncul? Adengan X kok nggak ada?” Ujung-ujungnya, setiap selesai menonton, kesimpulan saya seringkali sama: “Ah, lebih bagus bukunya.”
Kok bisa gitu ya?
Ya bisa jadi karena eksprektasi saya yang nggak sesuai dengan harapan. Cara mengatasinya mudah saja. Coba deh sesekali menonton film adapatasi terlebih dahulu sebelum membaca novelnya. Saya pernah mempraktekkan hal tersebut. The Maze Runner adalah film adaptasi novel di mana novelnya belum pernah saya baca sama sekali. Secara umum, saya sangat menyukai filmnya. Alur cerita (filmnya) menegangkan, visualisasi labirinnya luar biasa. Saya sungguh dibuat kagum oleh film itu. Namun saya cukup terkejut ketika membaca linimasa twitter yang berisi kicauan beberapa teman yang telah menonton The Maze Runner. Ada yang berkomentar bahwa film The Maze Runner nggak sesuai harapan, nggak seseru bukunya. Dalam hati saya bersyukur sebab belum membaca bukunya sewaktu menonton film itu. Kalau nggak, bisa jadi komentar saya akan sama dengan mereka: kecewa. ((bisa jadi loh))
Aku sih termasuk salah satu yg kurang puas sama film Maze Runner (mskipun tetep suka sih) XD, soalnya di buku lebih seru dan karakterisasinya lbh bagus. Tapi repot juga sih ya, kalo nonton film-nya duluan, pas baca bukunya jd kurang greget soalnya udh tau ending-nya dari film. #dilema
BalasHapusHmm. Gitu ya. Tapi aku malah makin penasaran dan kepingin baca bukunya setelah menonton The Maze Runner, meski sudah tahu endingnya. :)
HapusAku juga kecewa sama film 99 Cahaya di Langit Eropa. Ceritanya nggak sama dengan yang di novel, malah terkesan ditambahin bahkan ada kisah cintanya pula. Padahal di novel nggak ada. Jadi bete malah. -_-
BalasHapus*pukpuk Kiky* Aku belum baca maupun nonton 99. Hehe, emang bete kalau sudah ditambah-tambahin.
HapusBeda dengan The Hobbit ya, meski ditambah-tambahin, tapi tetap keren hasilnya.
gua nonton "ps. i love you" duluan sebelum baca bukunya and walau di goodreads banyak yang memuja muji bukunya lebih bagus dari versi film.. gua bersyukur nonton filmnya duluan karena kalau baca dulu well.. ga bakal tertarik nonton and itu salah satu kerugian terbesar dalam hidup ini *mulai lebay XD*
BalasHapusSamaaaa. Aku juga belum baca PS I Love You tapi sudah nonton filmnya. Menurutku sih bagus filmnya. Tapi tetap, kepingin banget baca bukunya juga. :D
Hapus