Seri: Gallagher Girls #1
Penulis: Ally Carter
Penerjemah: Alexandra Karina
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013 (Cetakan III)
Tebal: 320 hlm.
ISBN: 9789792248708
Sinopsis:
Cammie Morgan mungkin cewek genius, menguasai empat belas bahasa, jago mengurai kode rahasia tingkat tinggi, dan merupakan "harta" berharga CIA. Kadang ia bahkan merasa dirinya bisa menghilang. Untungnya, di Akademi Gallagher hal itu dianggap keren. Jelas saja, karena Akademi Gallagher sebenarnya sekolah mata-mata top secret.
Tapi soal cowok, Cammie benar-benar idiot. Ia nggak berkutik waktu Josh yang superkeren terang-terangan menatapnya di karnaval kota Roseville. Padahal saat itu Cammie sedang menjalankan misi Operasi Rahasia-nya yang pertama, padahal teman-teman sekelasnya pun nggak bisa melihat keberadaannya.
Siapa cowok itu? Haruskah ia memeriksa sidik jari Josh, mengintai dan menyamar, mengerahkan kemampuan mata-matanya untuk menyelidiki cowok itu? Meskipun tahu Gallagher Girls nggak boleh berhubungan dengan cowok-cowok lokal di Roseville, Cammie sepertinya nggak bisa menolak daya tarik Josh, karena satu fakta penting ini: Josh melihatnya saat nggak seorang pun bisa melihatnya.
Cameron “Cammie” Morgan bersekolah di Akademi Gallagher, sekolah asrama khusus anak-anak perempuan kaya yang membosankan... atau begitulah anggapan orang-orang Roseville, Virginia, tentang sekolah itu. Padahal semua itu hanyalah samaran. Akademi Gallagher sesungguhnya adalah sekolah mata-mata top secret khusus anak-anak perempuan. Dan tentu saja sekolah itu jauh dari kata membosankan. Para siswinya menguasai paling sedikit 14 bahasa (yang mereka praktekkan setiap hari saat makan siang). Untuk bisa bersekolah di sana, kamu harus punya orang tua atau kerabat yang berprofesi sebagai mata-mata. Kalau tidak punya kerabat mata-mata, paling tidak kamu harus genius luar biasa untuk bisa direkrut.
Cammie dijuluki sebagai Cammie si Bunglon (dalam text aslinya ditulis Cammie the Chameleon yang menurut saya merupakan permainan kata yang menarik). Ia dijuluki demikian karena kemampuannya untuk menjadi ‘tidak terlihat’ bahkan di tengah keramaian sekalipun. Mungkin karena sifat Cammie yang pendiam sehingga ia kerap tidak terdeteksi oleh lingkungan sekitarnya. Pembawaan gadis itu memang rendah hati, walau sesungguhnya ia bukan sekadar siswi Akademi Gallagher biasa. Ibunya tidak lain ialah kepala sekolah Akademi Gallagher. Ibu dan ayahnya dulunya adalah mata-mata. Setelah ayah Cammie menghilang saat menjalankan misi (MIA), ibu Cammie mundur dari pekerjaannya sebagai mata-mata dan menjadi kepala sekolah Akademi Gallagher.
Kisah benar-benar dimulai saat Cammie dan beberapa siswi Akademi Gallagher sedang menjalankan Operasi Rahasia. Di tengah-tengah misi, Cammie harus menjadi ‘tidak terlihat’. Tapi di saat Cammie harusnya menjadi tidak terlihat bagi orang lain, ada satu cowok keren yang justru bisa melihat cewek itu. Cammie pun mengalami yang namanya cinta pada pandangan pertama. Ia panik dan nyaris tidak bisa melakukan apa-apa. Akademi Gallagher memang melatih para muridnya untuk menjadi mata-mata super. Tapi mereka tidak melatih para siswinya cara menghadapi cowok cute. Dengan dibantu oleh sahabat-sahabatnya, Cammie mulai menyelidiki siapa sebenarnya Josh. Apakah Josh hanya rakyat sipil biasa, ataukah mata-mata yang ditugaskan untuk mengintai Akademi Gallagher?
Baca kisah selengkapnya dalam I'd Tell You I Love You, But Then I'd Have to Kill You karya Ally Carter.
Selama bertahun-tahun, kupikir menjadi mata-mata itu menantang. Ternyata, menjadi seorang cewek sama sulitnya. (Hlm 162)
Cerita-cerita yang bersetting di sekolah asrama selalu menarik perhatian saya. Dan kebetulan saya telah membaca beberapa cerita bersetting sekolah yang cukup keren seperti seri Harry Potter, Charlie Bone, atau Cewek Paling Badung di Sekolah. Lantas bagaimana dengan buku pertama dari serial Gallagher Girls ini? Jujur saya katakan bahwa saya cukup menyukai buku ini. Saya suka dengan Akademi Gallagher. Saya pun suka dengan ide ceritanya—tentang mata-mata yang jatuh cinta pada salah seorang rakyat sipil. Kita akan menemukan banyak kejadian lucu sekaligus menegangkan ala mata-mata saat Cammie dan para sahabatnya berusaha mengintai dan menyelidiki Josh Abram.
Interaksi antara Cammie dan sahabat-sahabatnya menarik untuk disimak. Para sahabat Cammie ini keren-keren loh. Si Liz misalnya, kemampuan otaknya yang luar biasa membuatnya cocok untuk menjadi operator dan pengawas saat teman-temannya menjalankan Operasi Rahasia. Ia bahkan mampu membobol database komputer Akademi Gallagher. Bex sangat cocok menjadi partner di lapangan, tapi yang paling saya sukai dari gadis British tersebut adalah karena ia selalu membela Cammie dan bersedia menghajar siapa saja yang berani mengganggu sahabatnya itu. Sementara Macey, adalah cewek supertajir yang baru saja direkrut oleh Akademi. Wajahnya yang cantik sering muncul di majalah-majalah. Cerita tentang perekrutan Macey cukup seru. Dan yang paling penting, dialah yang paling tahu soal cowok, sehingga Cammie berharap banyak darinya untuk urusan memata-matai Josh. Wow.
Membaca buku ini sedikit mengingatkan saya pada Hogwarts dalam serial Harry Potter. Jalur rahasia yang digunakan Cammie menyusup keluar untuk bertemu Josh, misalnya, mengingatkan saya pada lorong rahasia yang digunakan Harry Potter untuk penyusup keluar dari Hogwarts. Bedanya dengan Hogwarts, Akademi Gallahger tidak mengajarkan sihir, namun pelajaran-pelajaran dasar yang dibutuhkan para siswi sebagai bekal untuk menjadi mata-mata pemerintah kelak. Mungkin hanya perasaan saya saja, namun saya merasa buku ini lebih fokus ke “persoalan menghadapi cowok imut” yang dihadapi Cammie, ketimbang membahas lebih detail tentang Akademi Gallagher. Padahal saya justru berharap buku ini membahas lebih banyak tentang sekolah tersebut, atau paling tidak, konflik besarnya ada di lingkungan sekolah. Tapi tak apalah. Setelah membaca buku pertama ini, saya merasa serial Gallagher Girls cukup menjanjikan dan layak diikuti.
Bagi pembaca yang menyukai cerita mata-mata yang ringan dengan dibumbui romance dan humor, I'd Tell You I Love You, But Then I'd Have to Kill You adalah pilihan yang pas. Jangan tertipu dengan judulnya yang panjang dan terkesan “sadis”. Buku ini sukses membuat saya tertawa di beberapa bagian. Yah, saya memang selalu suka buku-buku yang berhasil membuat saya tertawa dengan ikhlas. :))
Saya tidak sabar untuk membaca kelanjutan seri ini. Tapi... *melirik timbunan*
Oh ya, saya sebenarnya tidak begitu memperhatikan typo sepanjang membaca buku ini. Tapi ternyata ada typo yang lumayan lucu. Pada halaman 280, nama Josh tiba-tiba berubah menjadi Joah. LOL.
ini bisa jadi kisahnya mendiang Gayatri yang (katanya) anggota BIN. sama-sama teen juga usianya :D
BalasHapussaya jg lgsg inget gayatri :D
HapusWah. Iya ya, kok aku nggak kepikiran sewaktu nulis review ini? Jangan-jangan menguasai 14 bahasa adalah syarat standar internasional ya? Si Gayatri juga bisa 14 bahasa kan?
Hapus
BalasHapusİkitelli Yangın Tüpü |
Kadıköy Yangın Tüpü |
Kağıthane Yangın Tüpü |
Kartal Yangın Tüpü |
Küçükçekmece Yangın Tüpü |
Maltepe Yangın Tüpü |
Moda Yangın Tüpü |
Pendik Yangın Tüpü |
Sancaktepe Yangın Tüpü |