Judul Buku: Ranah 3 Warna
Seri: Trilogi Negeri 5 Menara #2
Penulis: A. Fuadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2012 (April, Cetakan VI)
Tebal: xiii + 473 hlm
ISBN: 978-979-22-6325-1
Rating: 4,5/5
"Man Shabara Zhafira."
Ranah 3 Warna melanjutkan kisah perjuangan Alif dalam mewujudkan harapan dan cita-citanya. Keinginan Alif untuk menjadi Habibie, serta impiannya untuk menjejakkan kaki di benua Amerika belumlah padam. Kendalanya, untuk bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, Alif harus punya ijazah SMA, padahal Pondok Madani (PM) tempat Alif menimba ilmu, tidak mengeluarkan ijazah. Untuk itu, Alif harus mengikuti ujian persamaan SMA untuk mendapatkan ijazah dan agar bisa mengikuti UMPTN. Setelah perjuangan yang tak ringan, Alif berhasil mendapatkan ijazah dan sukses dalam UMPTN. Ia akhirnya diterima di Universitas Padjajaran Bandung, jurusan Hubungan Internasional. Memang agak melenceng dari cita-citanya semula, yaitu Teknik Penerbangan ITB. Bagaimanapun, Alif tetap bersyukur atas hasil yang diperolehnya. Alif pun memulai kehidupannya sebagai mahasiswa di Bandung.
Kehidupan di Bandung tidak mudah. Berbagai ujian dan tantangan hidup harus Alif jalani, terutama kebutuhan akan keuangan. Sebagai mahasiswa, Alif butuh uang, selain untuk membiayai kuliahnya, juga untuk membeli buku-buku tambahan. Karena tak ingin menambah beban orang tua di kampung, Alif berusaha mencari uang tambahan dengan cara bekerja sambil kuliah. Berbagai jenis pekerjaan dicoba olehnya. Mulai dari mengajar privat hingga menjadi sales yang membuatnya mengalami pengalaman pahit. Sakit tifus selama sebulan yang diderita olehnya membuat Alif semakin terpuruk. Belum lagi peristiwa malang yang menimpa salah satu anggota keluarga (bagian ini membuat mata saya basah). Sempat terpikir oleh Alif untuk berhenti kuliah dan kembali ke kampung untuk membantu para anggota keluarga yang masih tersisa. Namun, mengingat segala perjuangannya mulai dari ikut ujian persamaan SMA hingga UMPTN, rasanya sangat disayangkan bila ia harus pulang kampung. Dalam keputusasaannya, Alif teringat satu lagi ajaran emas selama di PM. Alif berpikir, ternyata mantera man jadda wajada saja tidak cukup. Satu lagi mantera yang perlu diingat: man shabara zhafira, yang secara harafiah berarti: siapa yang bersabar akan beruntung (dengan kata lain, siapa yang bersabar akan memperoleh hasil yang lebih baik). Alif pun mencoba untuk bersabar menghadapi setiap cobaan yang dialaminya.
Pertemuan Alif dengan Bang Togar, pimpinan redaksi majalah di kampus Alif, membuat Alif menemukan passion-nya. Ternyata, Alif berbakat dalam bidang tulis-menulis. Di bawah bimbingan Bang Togar yang terkenal keras dan tanpa ampun, Alif berhasil mengasah kemampuan menulisnya. Walau berat, Alif dengan tekun mengikuti arahan Bang Togar dan bersabar walau tulisannya sering dicorat-coret oleh beliau. Pertama-tama, tulisan Alif berhasil dimuat di majalah kampus. Selanjutnya, tulisannya mulai menghiasi koran-koran lokal, walau ternyata honornya kecil. Namun Alif tak putus asa. Ia menyakinkann dirinya, bila ia produktif menulis dan mengirim tulisannya, ia akan mendapatkan uang tambahan, selain untuk membiayai kuliah, juga untuk dikirim kepada keluarga di kampung.
Dalam kisah ini, kesabaran dan ketabahan Alif akhirnya berbuah manis. Impiannya dikabulkan oleh Allah. Ia memperoleh kesempatan mengunjungi Amerika, tepatnya Kanada, lewat kegiatan pertukaran pelajar. Prosesnya tidak mudah. Namun proses inilah yang menarik untuk disimak. Di Kanada, Alif mengalami petualangan seru bersama teman-teman baru. Tinggal di rumah Mado dan Frank yang hangat, bekerja paruh waktu sebagai reporter di stasiun tv lokal, hingga mengadakan pentas budaya pada tanggal 17 Agustus. Oh ya, dalam buku ini diceritakan pula tentang Alif yang diam-diam menyukai seorang gadis manis bernama Raisa. Meski bukan porsi utama, namun kisahnya cukup menggemaskan, dengan ending yang membuat saya ingin garuk-garuk aspal. Haha.
Poin penting yang ingin disampaikan oleh penulis lewat buku kedua Trilogi Negeri 5 Menara ini adalah tentang kesabaran dalam menghadapi setiap cobaan yang diberikan oleh Tuhan. Bila dalam buku pertama menceritakan Alif yang bersungguh-sungguh menjalani pendidikannya di Pondok Madani, dalam buku ini pembaca diajak untuk bersabar dalam menghadapi setiap persoalan hidup. Penulis juga masih setia dalam memberikan motivasi pada pembaca, lewat tulisannya yang santun dan rendah hati.
Alur cerita novel ini tetap menarik diikuti. Meski pada bagian awal alurnya cenderung lambat, tapi seiring berjalannya cerita, alurnya menjadi semakin menarik, terutama pada bagian cerita di Yordania (meski singkat) dan Kanada. Saya merindukan Sahibul Menara (sahabat-sahabat Alif selama di PM). Padahal, saya sangat berharap mereka hadir kembali di buku kedua ini. Sayangnya hal tersebut tidak dimungkinkan, sebab sahabat-sahabat Alif juga memiliki jalan hidup masing-masing. Memang Alif mendapatkan sahabat-sahabat pengganti Sahibul Menara, namun tidak semuanya meninggalkan kesan yang dalam bagi saya, selain Raisa dan Randai. Oh, dan Rusdi, si tukang pantun yang sangat kocak itu. Kisah selama di Kanada amat berkesan. Penulis mendeskripsikan Kanada, terutama St. Raymond—kota tempat Alif tinggal—dengan sangat apik dan meyakinkan. Wajar, sebab penulis sendiri telah menginjakkan kakinya di sana.
Sebagai penutup, novel bersampul indah dengan bonus pembatas buku berbentuk daun maple yang unik ini adalah salah satu karya penulis Indonesia yang wajib dibaca dan dikoleksi. Kisahnya indah, bahasanya sederhana dan penuh dengan motivasi. 4,5 bintang saya berikan kepada Ranah 3 Warna.
aku belum minat baca seri ini tapi mupeng juga lihat boksetnya *ketuk-ketuk jari telunjuk kanan kiri*
BalasHapusjangankan ibu peri, saya juga mupeng sama boxset-nya. kalo beli kotaknya aja bisa nggak ya? :D
HapusBisa Mas beli kotaknya aja, harus lewat ol shop kalau gak salah. tapi harganya, ya gitu deh ._.
Hapustapi mahal yak? hahaha. mending buat beli buku lagi deh kalo muahal banget. belum aku cek sih.
Hapus