Judul Buku: Negeri 5 Menara
Seri: Trilogi Negeri 5 Menara #1
Penulis: A. Fuadi
Penerbit: Gramedia Pusataka Utama
Tahun Terbit: 2009 (Oktober, Cetakan II)
Tebal: xiii + 420 hlm
ISBN-13: 9789792248616
Rating: 5/5
"Man Jadda Wajada."
Buku ini termasuk salah satu buku yang cukup lama bertengger di daftar ‘to-read’ saya. Tak lama setelah mulai membaca buku ini, saya segera menyesali diri sebab telah menunda-nunda membacamya. Novel yang sarat motivasi. Setiap lembarnya ibarat suntikan penyemangat, setidaknya bagi saya. Pada akhirnya, Negeri 5 Menara sukses membuat saya berangan-angan—walau sangat tidak mungkin—untuk mencicipi dunia pendidikan di pondok pesantren seperti yang digambarkan dalam buku ini. Terus terang, saya merasa iri pada mereka yang mengalami masa-masa pendidikan di Pondok Madani.
Buku pertama dari rangkaian trilogi ini berkisah tentang Alif Fikri yang berasal dari Maninjau, Sumatera Barat. Alif adalah anak yang cerdas serta memiliki cita-cita yang tinggi. Setelah lulus dari sekolah madrasah, ia ingin melanjutkan pendidikan ke SMU negeri di Padang, lalu meneruskan kuliah di ITB agar bisa seperti B.J. Habibie, tokoh panutannya. Sayang sekali mimpinya untuk bersekolah di SMU negeri harus kandas, sebab Amak menginginkan dirinya masuk sekolah agama. Amak sangat berharap agar Alif dapat mengikuti jejak Buya Hamka, seorang pemuka agama tersohor. Amak ingin sekali menepis anggapan bahwa sekolah madrasah atau pesantren hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri (atau kasarnya, anak-anak yang bersekolah di pesantren dinilai tidak cakap untuk berskolah di sekolah negeri). Alif sangat marah dan kecewa atas keputusan sepihak dari Amak. Namun, setelah mendapat dukungan moral dari sang paman yang sedang melanjutkan studi di Kairo, Mesir, akhirnya Alif melunakkan hati dan menuruti kemauan Amak.
Alif pun akhirnya melanjutkan sekolah di Pondok Madani atau biasa disingkat PM, sebuah pesantren bagi anak laki-laki, yang berlokasi di Jawa Timur. Awalnya Alif setengah hati untuk menjalani pendidikan di PM, sebab ia harus merelakan cita-citanya untuk kuliah di ITB dan menjadi orang cerdas seperti Habibie. Namun kalimat “man jadda wajada” yang pertama kali didengarnya di PM menjadi mantra penyemangat baginya. Kalimat dalam bahasa Arab itu bila diterjemahkan artinya adalah “siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil.” Berbekal man jadda wajada, Alif pun berusaha menjalani hari-harinya di PM dengan bersungguh-sungguh.
Di PM, Alif bertemu dengan teman-teman baru dari berbagai daerah di Indonesia, di mana kemudian beberapa di antaranya menjadi sahabat dekatnya. Mereka adalah Said (Surabaya), Baso (Gowa), Raja (Medan), Dulmajid (Madura), dan Atang (Bandung). Kisah pun bergulir menyoroti aktivitas kelima sahabat yang dijuluki Sahibul Menara ini selama menimba ilmu di PM. Dijuluki Sahibul Menara, sebab pada waktu luang mereka berenam kerap berkumpul di bawah menara tertinggi di PM, sambil tidur-tiduran dan menatap langit biru, saling mengungkapkan harapan dan mimpi-mimpi mereka di masa yang akan datang. Alif sendiri memiliki mimpi menginjakkan kaki di benua Amerika. Seru sekali menyimak perjuangan Alif dan kawan-kawan di pondok pesantren yang hanya mengharuskan penghuninya untuk berbahasa Inggris dan Arab dalam percakapan sehari-hari ini. Suka, duka, susah, senang, semuanya dialami oleh Alif dan Sahibul Menara. Namun, ‘hantu ITB’ yang membayang-bayangi Alif tampaknya masih enggan beranjak dari benaknya, terutama setelah ia menerima surat dari Randai, sahabat dekat sekaligus saingannya, yang bercerita tentang betapa menyenangkannya bersekolah di SMU negeri. Hati Alif pun gamang. Karena meski telah menempuh separuh pendidikan di PM, keinginan Alif untuk mewujudkan cita-citanya kuliah di ITB ternyata masih belum luntur, apalagi ijazah PM tidak diakui di dalam negeri (padahal beberapa perguruan tinggi di Mesir mengakui ijazah PM). Akankah Alif tetap bertahan di PM, atau memilih untuk keluar demi mengejar cita-citanya untuk menjadi seperti Habibie?
Sebagai pembaca non-Muslim yang tak punya bayangan sama sekali tentang kehidupan pesantren, di luar dugaan, saya mendapati membaca buku ini amatlah mengasyikkan. Sistem pendidikan di pesantren yang kabarnya berbeda dari pesantren-pesantren yang lain ini membuat saya membayangkan betapa beruntungnya mereka mengenyam pendidikan agama di Pondok Madani. Sekadar informasi bagi yang belum membaca buku ini, buku ini terinspirasi dari kisah nyata sang penulis sendiri. Dan Pondok Madani dalam novel ini aslinya adalah Pondok Modern Gontor, Jawa Timur. Novel ini kabarnya sukses mengubah paradigma salah tentang pondok pesantren. Di PM, penulis secara jelas menggambarkan suasana pondok yang modern. PM tak hanya mendidik para murid untuk mendalami agama, tapi juga mengasah kemampuan berbahasa, seni, dan olah raga para penimba ilmu. Namun, tingkat disimplin di PM juga amat tinggi, sehingga para murid ditempa untuk menjadi pribadi yang taat pada peraturan. Pelanggaran sekecil apa pun tak akan luput dari hukuman. Bahkan, bila pelanggarannya cukup parah, PM tak akan segan mengeluarkan sang pelanggar aturan tersebut dari sana.
Bahasa yang digunakan penulis dalam buku ini cukup ringan dan mudah dinikmati. Unsur humor yang disisipkan di dalamnya cukup ampuh membuat saya betah berlama-lama membaca novel ini. Penulis juga berbaik hati memberikan catatan kaki pada istilah atau kalimat yang dianggap perlu untuk dipahami pembaca awam, misalnya kalimat berbahasa Arab maupun istilah yang berhubungan dengan dunia pesantren. Hal tersebut memudahkan saya sebagai pembaca yang sebelumnya buta bahasa Arab dan tak punya gambaran tentang dunia pesantren sebelumnya.
Mengenai plot ceritanya sendiri, meski cukup menarik diikuti, namun menurut saya dinamika ceritanya kurang ditampilkan dengan baik oleh penulis. Saya merasa alur cerita dalam buku ini cenderung datar. Klimaks ceritanya pun tidak terlalu menggigit. Barangkali karena buku ini mengambil kisah nyata sebagai inspirasi, sehingga penulis memilih menulis apa adanya, meski saya yakin pada beberapa bagian novel ini telah disesuaikan atau didramatisir oleh penulis. Secara keseluruhan, saya sangat menikmati novel ini meski saya berasal dari golongan non-Muslin.
Saat membaca buku ini, mau tak mau saya membanding-bandingkannya dengan novel Laskar Pelangi. Kedua buku ini sama-sama memiliki semangat untuk memotivasi pembaca untuk tidak berhenti bermimpi, juga mendorong pembaca untuk terus meningkatkan kemampuan diri, terutama dalam bidang pendidikan. Secara umum, novel ini cocok dibaca oleh semua kalangan, terutama mereka yang concern tentang dunia pendidikan dan agama (dalam hal ini, Islam). Pesan moral dalam novel ini pun amat baik, yaitu entang kesungguhan dan keteguhan hati yang berbuah manis, seperti yang mantra yang kerap digaungkan dalam buku ini: man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
dan kenapa aing gak sanggup baca novel ini orz
BalasHapus@mide: hehe, sori telat komeng. kita sudah membahas ini di tuit-tuit kan ya. :D
HapusSdh lama baca buku ini , ada persamaan saya dg alif yaitu sama2 suka sukroo...kriuk :)
BalasHapus@kak nannia: saya juga dulunya penyuka kacang sukro. tapi setelah kena asam urat, segala jenis kacang-kacangan mulai saya hindari. #ehsturhat
BalasHapusKasih sini sukronya.... Wkwkwk...
HapusAku sering terkantuk2 baca ini, tapi melek lebar pas baca.buku keduanya. Ayo, lanjut, paaannn #nunggusukro
Hahahaha. Minta sama Kaka Nania dong...
HapusBtw aku sudah baca buku kedua kok. Tinggal dibikin repiu. Ini nih yang males. :P
Waktu itu sempet ditawarin sama temen yang lagi nginep di apartemen buat baca buku negeri 5 menara ini, namun cuman dipinjemin aja tapi belum dibaca, habis baca review dari sini mau coba baca deh nanti :3
BalasHapusBuruan baca gan.
HapusGo to: Paket Pulau Tidung
BalasHapusSemangat gan. Go to: Jasa Pembuatan Website
BalasHapusada persamaan saya dg alif yaitu sama2 suka sukroo. Go to: Bandar Bola
BalasHapusClick to: Judi Online harus menghilanlam kejelekan
BalasHapusGo to: Paket Wisata Pulau Tidung
BalasHapusHey guys really such a awesome post dear. troubleshoot sound problem Thanks for sharing this amazing post.
BalasHapusApparently, pixel gun 3d game is available on the Android platform, but with an excellent Android emulator, you can also play the game on your PC and Mac.
BalasHapusvans shoes
BalasHapusnike air max 97
nike air force 1 high
adidas nmd r1
hermes belt
ferragamo belt
coach outlet
bape hoodie
converse outlet
jordan 12
Hmm! sepertinya kita berbagi sudut pandang yang sama.
BalasHapusgarena’s free fire
Aneh sekali perbedaan komentar orang tentang postingan Anda
moved here replica ysl bags blog here Ysl replica handbags view it Ysl replica handbags
BalasHapususeful site view it now more information gucci replica handbags their website more info here
BalasHapusr4g07b0p24 n5z30v4s96 b1q98b8o20 a0a25o3m78 h3d43t5q03 e3m15o3y17
BalasHapusq5u77q2k57 s6v35f3x69 o4b48w9q51 d9s96q9s88 l7w10q2q79 s3p84w4z65
BalasHapus