Judul Buku: Qaurter Life Fear
Penulis: Primadonna Angela
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Juli 2005
Tebal: 224 hlm
ISBN: 9792214739
Harga: Rp. 30.000,-
Rating: 2/5
Belinda adalah salah satu dari antara orang-orang yang membenci perayaan ulang tahun. Baginya perayaan ulang tahun mengingatkan pada kondisinya yang menurutnya menyedihkan. Ulang tahun yang ke-25 pun tak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tak pernah membuatnya bahagia. Di saat orang lain merasa sukses dengan pekerjaan, memiliki pasangan hidup, serta tujuan hidup yang jelas, Belinda merasa tidak punya apa-apa. Ia merasa tidak cantik, berkat tubuhnya yang terlalu 'berisi', meski memiliki ibu berparas ayu—hal yang kerap membuatnya minder dan bepikir, jangan-jangan dirinya anak angkat. Kemudian ada Ine sahabat sekaligus tetangga Belinda sejak kecil. Ine yang berpenghasilan besar membuat Belinda iri, sebab ia sendiri hanya menjadi pengajar paruh waktu di sebuah institusi pendidikan anak.
Pertemuan Belinda Jay, mantan kekasihnya, cukup membuat dunia gadis itu jungkir balik. Jay kini sudah punya pacar baru. Dan pacarnya itu tidak lain adalah Retno, perempuan yang tidak disukai Belinda sejak lama. Tapi, harus sampai kapan Belinda mengasihani dirinya sendiri? Mau tidak mau Belinda harus bangkit dan menghadapi semua ketakutan di usianya yang sudah menginjak seperempat abad.
***
Mengapa saya cuma memberi dua bintang pada novel ini?
Saya sulit berempati pada tokoh utama. Belinda terlalu banyak mengeluh. Tidak cantiklah, tidak langsinglah, hingga komplainnya terhadap pekerjaan yang menurutnya payah. Padahal, astaga, Belinda dikelilingi oleh orang-orang yang menyanyanginya: Papa yang luar biasa, Mama yang seperti sahabat, hingga Ine, sahabat yang sudah seperti saudara sendiri. Well, memang sih, saya bisa merasakan kejengkelan Belinda pada saat perayaan ulang tahunnya, di mana para sepupu mulai menggunjingkan statusnya yang masih single. Tapi, hei, Mama saja nggak memaksa Belinda untuk buru-buru punya pacar kan? Kenapa mesti pusing?
Gaya bertutur dalam novel ini sebenarnya cukup menarik. Sedikti ceplas-ceplos dan mengandung humor. Sayang sekali plotnya begitu-begitu saja. Belinda mengeluh lagi, lagi, daaaan lagi. Jadi malas rasanya. Konflik antara Belinda, Jay, dan Retno pun kurang begitu menggigit. Alasan mengapa Jay meninggalkan Belinda menurut saya terlalu mengada-ada. Belinda sudah bukan abg lagi, masa iya sih Jay khawatir Belinda akan berpikiran picik? Tapi, uhm, mengingat tabiat Belinda yang suka mengeluh, kayaknya wajar juga sih kalau Jay memilih untuk mundur. Sayang sekali. Mengenai selimut persahabatan, entah mengapa saya merasa ide tersebut agak konyol. Dan masak gara-gara warna selimutnya mulai memudar, barulah Belinda sadar bahwa persahabatannya dengan Ine terlalu berharga untuk disia-siakan? Hellow? Saya sampai bertanya-tanya, ini novel metropop atau teenlit ya? Ceritanya menurut saya lebih cocok ke teenlit sih.
Namun demikian, saya sangat menyukai tokoh Mama. Tokoh Mama sukses memberi warna dalam novel ini. Pembawaannya yang supel, perhatian, namun terkadang berlebihan, mampu mengundang tawa saya. Benar-benar tokoh Mama idaman anak perempuan deh. Habis Mama pengertian banget. Tokoh Mama dan unsur komedi novel inilah yang membuat saya betah membaca novel yang sebenarnya tidak terlalu tebal ini. Sementara plot, konflik, dan kemistri antara Belinda dan Jay, menurut saya tidak terlalu menarik.
Pesan moral novel ini simpel saja. Pertama, hindari berprasangka buruk. Kedua, syukuri apa yang kamu miliki. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar