Penulis: Jodi Picoult
Penerjemah: Julanda Tantani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010
Tebal: 504 hlm.
ISBN: 9789792257687
Rating: 4/5
Sinopsis:
Nina Frost, pengacara untuk anak-anak yang dianiaya. Bekerja keras memastikan sistem hukum yang memiliki banyak lubang bisa menahan para pelaku kejahatan di belakang terali. Tapi ketika anak laki-lakinya yang berusia lima tahun, Nathaniel, mengalami trauma karena penganiayaan seksual, Nina dan suaminya, Caleb--seorang pengrajin batu yang tenang dan praktis--hancur, tercabik-cabik dalam amarah dan keputusasaan di hadapan sistem pengadilan yang menggelikan, sesuatu yang Nina kenal dengan baik. Dengan mudahnya kejujuran dan pembelaan absolut Nina dijungkirbalikkan, dan dengan membabi buta dia mencari sendiri keadilan bagi anaknya--apa pun konsekuensinya, apa pun pengorbanannya.
Aku pernah bertemu para penganiaya anak-anak. Mereka tidak mengenakan tanda, merek, atau tato yang menunjukkan perbuatan mereka. Semuanya tersembunyi di balik senyum kebapakan yang ramah; tersimpan di belakang kemeja yang terkancing rapi. Mereka tampak seperti kebanyakan dari kita, dan justru itulah yang sangat menakutkan—mengetahui monster-monster itu bergerak di antara kita, dan kita tak bisa mengenali mereka. (hlm 105)
Buku ini saya pilih untuk baca bareng BBI bulan April 2013 yang salah satu temanya adalah tentang perempuan, atau buku-buku yang ditulis oleh perempuan. Saya rasa Jodi Picoult adalah pilihan yang tepat untuk mewakili penulis perempuan, oleh sebab tulisannya yang kuat, dengan karakter-karakter yang amat berkesan. Pengalaman saya dengan karyanya yang berjudul My Sister’s Keeper masih meninggalkan kesan yang mendalam bagi saya.
Perfect Match masih mengangkat tema tentang keluarga, terutama tentang kasih seorang ibu kepada anaknya. Apa yang akan dilakukan seorang ibu bila anak laki-laki berusia lima tahun yang amat dikasihinya ternyata dilecehkan secara seksual oleh seorang pastur? Apalagi ternyata pelaku sudah bisa dipastikan bebas sebab anak yang menjadi korban dianggap tak mampu (atau mengutip istilah dalam buku ini: “tidak berkompeten”) untuk memberikan kesaksian. Sebagai ibu, tentu rasa sakitnya sungguh tak terbayangkan. Membayangkan pelaku bebas begitu saja dan melenggang kembali ke masyarakat saja sudah cukup membuat murka. Apalagi membayangkan pelaku kemungkinan besar akan melakukan tindakan tak bermoralnya pada anak-anak lain, calon-calon korban yang tak berdosa. Kalaupun dihukum, biasanya hukuman yang diterima para pelaku terbilang ringan, sementara anak yang menjadi korban mengalami trauma, dan butuh terapi bertahun-tahun (waktunya lebih lama dibanding hukuman kurungan yang diterima oleh pelaku), sebelum akhirnya bisa dinyatakan sembuh.