Seri: The Children of the Red King #1
Penulis: Jenny Nimmo
Penerjemah: Iryani Syahrir
Penerbit: Ufuk Press, 2010 (Cetakan I)
Tebal: 412 hlm.
ISBN: 9786028801522
Rating: 3/5
Sinopsis:
Akibat bakat ajaibnya, Charlie dikirim ke sekolah asrama Bloor’s Academy ketika berusia sepuluh tahun. Sekolah itu berisi ratusan murid yang sepuluh di antaranya adalah anak-anak berbakat ajaib, seperti Billy yang bisa berbicara kepada binatang dan Gabriel yang bisa mendeteksi perasaan pemilik benda yang disentuhnya.
Di Bloor’s Academy yang penuh misteri, Charlie menyelidiki hilangnya Emma, seorang anak perempuan yang diduga telah dihipnotis oleh Manfred Bloor, anak kepala sekolah. Bersama sahabat-sahabatnya, Benjamin dan Fidelio, Charlie berusaha mengungkapnya. Mampukah mereka memecahkan misteri tersebut? Selain itu, bisakah Charlie bertemu kembali dengan ayahnya, yang baru ia ketahui hilang, bukannya meninggal?
Charlie Bone tinggal bersama ibu, dua orang nenek, dan seorang paman pemurung yang lebih suka mengurung diri di kamar. Dalam diri Charlie mengalir darah keluarga Yawbeam, keluarga kuno yang dalam sejarahnya dipenuhi dengan seniman; mereka memiliki bakat yang sangat tidak biasa, seperti menghipnotis, membaca pikiran, dan sihir-menyihir. Sejauh ini Charlie tidak pernah menunjukkan bakat apapun, dan itu membuat salah satu neneknya (dari keluarga Yewbeam) yang kejam dan selalu mengeluh, merasa kecewa dan dianggapnya Charlie ‘tidak normal’. Charlie sendiri tak keberatan dengan ‘keabnormalannya’ tersebut. Hingga suatu saat, tanpa sengaja Charlie mendengar suara-suara dari selembar foto. Ini membuat neneknya senang dan memutuskan mengirimnya ke Bloor’s Academy, sekolah bagi anak-anak yang luar biasa cerdas, atau yang berkemampuan ‘spesial’ seperti Charlie Bone.
Bloor’s Academy adalah bangunan kuno yang amat besar dan terlihat suram. Sekolah itu pun tidak terlalu menyenangkan. Makanannya tidak enak dan gurunya galak (yeah, tidak semuanya sih). Mr. Bloor, pemilik sekolah tersebut, bukan laki-laki yang ramah dan sepertinya ia menginginkan sesuatu dari Charlie. Terlebih lagi anak Mr. Bloor, Manfred Bloor, yang bertampang licik dan berbakat menghipnotis orang lain, tampaknya senang sekali menyulitkan Charlie. Meski begitu, Charlie punya teman-teman dekat di sekolah itu. Di antaranya Fidelio, anak yang berbakat dalam musik (seluruh anggota keluarganya pemusik), Olivia yang berbakat dalam akting, Gabriel yang bisa mendeteksi perasaan pemilik benda yang disentuhnya, serta Billy, bocah albino mungil yang bisa berbicara dengan binatang.
Kesulitan-kesulitan yang Charlie hadapi berhubungan foto yang suaranya bisa didengarnya tempo hari. Foto itu terkait erat dengan bayi perempuan yang diculik bertahun-tahun yang lalu. Jika perhitungan Charlie benar, anak itu sekarang seusia dengannya, dan kemungkinan anak itu juga bersekolah di Bloor’s Academy. Setelah melakukan penyelidikan, Charlie bisa menebak siapa anak itu. Tampaknya anak permpuan itu sangat tidak bahagia sebab seseorang menghipnotisnya terus-menerus, seolah tak ingin anak itu tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Charlie dan sahabat-sahabatnya berusaha memecahkan masalah tersebut.
Selain itu, Charlie akhirnya mengetahui bahwa ayahnya yang dikiranya telah meninggal, ternyata hanya menghilang. Namun tak seorang pun mengetahui di mana ayahnya berada…
Ketika membaca sinopsi di belakang novel ini, saya jadi bersemangat saat menemukan tulisan: “Charlie Bone sama hebatnya dengan Harry Potter. Ini buku yang benar-benar menyenangkan, menarik, dan menghibur.“ —goodreads.com
Wow, katanya sama hebatnya dengan Harry Potter! Tapi benarkah begitu?
Sayangnya saya merasa buku ini jauh di bawah Harry Potter. Memang banyak aspek yang disajikan dalam buku ini mirip dengan seral Harry Potter. Terutama tentang Bloor’s Academy, yang membuat siapapun yang pernah membaca Harry Potter akan membanding-bandingkannya dengan Hogwarts. Akan tetapi, Bloor’s Academy tidaklah semenyenangkan Hogwarts (setidaknya itu yang ingin ditekankan oleh penulis, apalagi kepala sekolahnya adalah salah satu tokoh antagonis dalam cerita ini). Lalu ada Fidelio yang mirip Ron Weasley. Jika keluarga Ron memiliki ciri khas berambut merah, Keluarga Fidelio memiliki ciri khas wajah berbintik-bintik, tapi mereka sama menyenangkannya dengan keluarga Weasley. Jika di Hogwarts para murid dibedakan berdasarkan asrama, maka di Bloor’s Academy para murid dibedakan berdasarkan warna jubah (anak-anak berjubah biru dari Departemen Musik, anak-anak berjubah hijau dari Departemen Seni, dan anak-anak berjubah ungu dari Departemen Drama).
Lantas mengapa buku ini tidak sehebat Harry Potter?
Banyak hal yang patut dipertanyakan dalam buku ini. Pertanyaan terbesar bagi saya adalah: apa tujuan bersekolah di Bloor’s Academy? Dalam buku ini tidak dijelaskan secara mendetail apa maksud dan tujuan bersekolah di sana. Informasi yang kita dapat hanyalah, Charlie anak yang memiliki ‘bakat khusus’ sehingga ia wajib bersekolah di sana. Tapi di Bloor’s Academy sendiri anak-anak lebih ditekankan untuk belajar seni, terutama musik dan drama. Sementara anak-anak berbakat spesial seperti Charle dikumpulkan bersama untuk mengerjakan PR pada malam hari (dari 300 murid, hanya 10 anak saja [apa 12 ya? lupa juga, hehe] yang memiliki kemampuan spesial). Tidak ada tanda-tanda mereka akan diajari untuk mengembangkan bakat spesial mereka tersebut.
Dalam buku ini, seharusnya Charlie menjadi semacam pahlawan kan? Tapi banyak hal penting terkait dengan penyelamatan anak-yang-dihipnotis malah dilakukan oleh teman-teman Charlie. Misalnya Benjamin dan Fidelius yang berhasil mengetahui cara membuka kotak misterius milik Dr. Tolly, Olivia yang berhasil membawa kabur anak-yang-dihipnotis untuk disadarkan, dan yang paling menyedihkan, justru Gabriel, Tancred, dan Lysander-lah yang menyelamatkan Charlie di Reruntuhan, saat ia terjebak bersama manusia serigala. Charlie nyaris tidak melakukan apa-apa sama sekali! Ironisnya, di akhir cerita justru dialah yang mendapatkan ucapat terima kasih serta menerima tepuk tangan dari orang-orang, seolah-olah dia adalah pahlawan, padahal yang dilakukannya hanya mendengar suara-suara dalam foto (yang menjadi awal dari kisah dalam buku ini, itu pun secara tidak sengaja).
Untuk anak-anak, kisah Midnight For Charlie Bone bisa dijadikan pilihan, terutama bagi mereka yang menginginkan bacaan yang lebih ringan dari Harry Potter. Sementara bagi pembaca dewasa mungkin kisah ini hanya sebatas menarik, tapi tidak luar biasa. Sangat berlebihan jika menyamakan Charle Bone dengan Harry Potter.
Namun saya sangat berharap buku-buku selanjutnya jauh lebih menarik dari ini. Saya memberi rating 3/5, karena walau banyak hal yang masih menjadi tanda tanya, tapi jujur saja saya cukup menikmati membaca buku ini. Oh ya, tokoh favorit saya adalah Paman Paton. Kemunculannya di Bloor’s Academy pada saat menjelang akhir cerita benar-benar keren! :D
Berikut sedikit info tentang Raja Merah, saya copas dari bagian Prolog buku ini:
Dahulu, seorang raja tiba di daerah utara. Mereka memanggilnya Raja Merah karena dia memakai jubah merah tua dan perisainya dihiasi gambar matahari yang bersinar. Konon, dia berasal dari Afrika. Raja ini juga seorang penyihir hebat dan masing-masing dari sepuluh anaknya mewarisi sebagian kecil kekuatan sihirnya. Tapi, ketika istri sang raja meninggal, lima dari anaknya berubah menjadi jahat dan kelima anaknya yang lain mencoba untuk melarikan diri dari kejahatan yang dilakukan oleh saudara mereka yang jahat, dan meninggalkan istana ayah mereka untuk selamanya.Dengan perasaan sedih dan terluka, si Raja Merah menghilang ke dalam hutan yang mengelilingi kerajaan di bagian utara. Tapi, sang raja tidak pergi sendirian karena dia ditemani oleh tiga kucing setia, atau lebih tepatnya matacam tutul. Kita tidak boleh lupa dengan kucing-kucing ini!Kekuatan sihir si Raja Merah yang banyak dan hebat diwariskan ke anak-cucunya, dan sering kali tidak disadari oleh mereka, yang tidak tahu dari mana asal kekuatan itu. Inilah yang terjadi pada Charlie Bone, dan pada sebagian anak yang ditemuinya di balik dinding suram Bloor's Academy.
Catatan: Postingan ini untuk reading challenge berikut:
1. What's in a Name Reading Challenge 2013
2. TBRR A Fantasy Reading Challenge 2013
My review for this series:
1. What's in a Name Reading Challenge 2013
2. TBRR A Fantasy Reading Challenge 2013
My review for this series:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar