Penulis: Ika Natassa
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010
Tebal: 328 hlm.
ISBN: 9789792238464
Rating: 4/5
Sinopsis:
Commitment is a funny thing, you know? It's almost like getting a tattoo. You think and you think and you think and you think before you get one. And once you get one, it sticks to you hard and deep.
"Jadi lebih penting punya Furla baru daripada ngilangin nama mantan laki lo dari dada lo?"
Pernah melihat Red Dragon? Aku masih ingat satu adegan saat Hannibal Lecter yang diperankan Anthony Hopkins melihat bekas luka peluru di dada detektif Will Graham (Edward Norton), dan berkata, "Our scar has a way to remind us that the past is real."
Tapi kemudian mungkin kita tiba di satu titik ketika yang ada hanya kebencian luar biasa ketika melihat tato itu, and all you wanna do is get rid of it. So then you did.
Alexandra, 27 tahun, workaholic banker penikmat hidup yang seharusnya punya masa depan cerah. Harusnya. Sampai ia bercerai dan merasa dirinya damaged good. Percaya bahwa kita hanya bisa disakiti oleh orang yang kita cintai, jadi membenci selalu jadi pilihan yang benar.
Little did she know that fate has a way of changing just when she doesn't want it to.
Divortiare berkisah tentang Alexandra, 27 tahun, seorang banker dengan karir cemerlang. Oh ya, tentu saja ia—seperti kebanyakan tokoh utama perempuan dalam novel-novel metropop—berparas cantik. Tapi apakah kehidupannya sesempurna wajah dan karirnya? Tergantung bagaimana kita menilainya, jika dari sedikit info di atas, saya tambahkan satu info lagi: she is a devorcee. Yep. Ia bercerai di usia muda relatif muda. Dan sampai saat ini ia belum ingin membuka hatinya untuk lelaki lain, meskipun Wina, sahabat karibnya kerap berusaha menjodohkan Alexandra.
Adalah Beno, lelaki yang pernah menjadi suami sang tokoh utama, pria tampan yang berprofesi sebagai dokter bedah jantung, usianya lebih lebih tua delapan tahun dari Alexandra.
Harusnya rumah tangga mereka sempurna. Suami tampan, istri cantik, sama-sama memiliki profesi bergengsi: dokter dan banker. Sayangnya, profesi merekalah yang membuat hubungan mereka semakin merenggang dikarenakan jarangnya mereka bertemu dan berkomunikasi, walaupun tinggal seatap. Masing-masing terlalu sibuk mengurus pekerjaannya. Alexandra sering bekerja hingga larut malam bahkan sering melakukan perjalanan dinas ke luar kota. Sementara Beno, sebagai dokter, ia lebih sering berada di rumah sakit daripada di rumahnya sendiri, bahkan di hari libur sekalipun. Apa gunanya pernikahan jika kita merasa seperti tak punya pasangan hidup? Setelah berpikir masak-masak, Alexandra akhirnya mengajukan cerai.